Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Selasa, 26 April 2011

PARADIGMA GEOSENTRIS DAN HELIOSENTRIS

PARADIGMA GEOSENTRIS DAN HELIOSENTRIS
Hampir semua astronom Yunani berpendapat bahwa Bumi berbentuk bola dan menjadi pusat seluruh alam semesta. Pernyataan pertama bisa diperiksa dengan mudah. Pengamat di Puncak gunung dapat melihat hampir seluruh badan kapal, sementara pengamat dikaki gunung hanya dapat melihat pucuk tiang layar. Pernyataan kedua, yang dikenal sebagai geosentrisme, memang sudah dimandulkan Copenicus. Tapi ada baiknya kita memahami gagasan ini untuk menangkap kegelisahan Copernicus terhadap teori ini.
Berdasarkan apa yang kita lihat Bumi tidak bergerak. Sebaliknya Bulan, Matahari serta Bintang-bintang mengelilingi Bumi. Cara berpikir ini mengandaikan Bumi bergeming. Pada masa lalu orang-orang belum mempunya teropong karena itu mereka hanya mengenal dua jenis benda ribuan Bintang dan Planet. Matahari, bulan, Merkurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus merupakan Planet yang mengelilingi Bumi sebagai pusat alam-semesta yang bulat. Gerakan Matahari diperlihatkan dari perubahan bintang di latarbelakang yang terlihat terbit dan tenggelam. Mereka berkesimpulan bahwa Matahari mengikuti gerakan Diurnal dan lintasan berbentuk lingkaran dengan periode tepat satu tahun. Satu lagi yang rumit bagi Geosentris, Matahari tidak persis terbit di tempat yang sama. Antara 21 Maret dan 23 September Matahari terbit agak ke utara dan titik paling jauh ke utara tercapai pada 22 Juni. Sebaliknya antara 23 September dan 21 Maret Matahari terbit agak ke selatan. Untuk menjelaskan itu mereka memutar bola Matahari pada poros yang tidak sejajar dengan poros putaran diurnalnya, sehingga miring 230. Gambaran mengenai kosmos geosentris diajukan oleh Eudoksus (409-356 SM). Aristoteles yang hidup sezaman dengan Eudoksus dapat menerimanya. Geosentrisme Eudoksus kemudian dirumuskan kembali oleh sejumlah cendekiawan termasuk Ptolemeus. Saran Eudoksus membentur persoalan ketika menjelaskan gerakan planet Merkurius sampai Saturnus. Pasalnya gerakan planet itu tudak seragam. Lintasan mereka tidak setia pada betuk lingkaran sejati dilangit. Untuk memecahkan persoalan ini, Hiparkhus (190-120 SM), seorang astronom yang cukup teliti meletakan planet pada lingkaran tambahan. Ptolemeus kemudian memperbaiki sistem Hiparkhus, karena tidak setia pada pengamatan. Sebetulnya ini bukan sistem lagi, melainkan satu kelompok sistem, yang masing-masing diakali sedemikian rupa supaya tidak jauh berbeda dengan data pengamatan. Disini bola tidak lagi berputar seragam jika dipandang dari pusat bola. Gerakan baru seragam ketika dilihat dari titik lain Argumen terakhir inilah yang paling mengganggu Copernicus. Sistem ini menjadi pemicu revolusi Copernicus. Sistem Ptolemeus adalah versi yang lebih matang sekaligus jauh lebih rumit dan terlalu matematis dibanding Aristoteles.
Selain kosmos Aristoteles dan Ptolemeus masih ada pemikir Yunani yang mengemukakan sistem tata surya yang jauh berbeda. Model alternatif ini pada umumnya tidak dapat diterima oleh para cendekiawan sezaman.
Pada abad ke-5 SM, Democritus melontarkan spekulasi tentang alam semesta yang luas tak terhingga dan bentuk Bumi yang seperti tabung bukannya bola. Moddel ini mirip dengan gambaran kita tentang alam-semesta masa kini.
Pada abad ke-4 SM, Heraklides menulis tentang tata surya model heliosentrik tanpa dukungan data. Gagasan ini di angkat kembali oleh Aristarchus seabad kemudian yang berpendapat bahwa sistem tata surya bakal lebih sederhana seandainya Matahari dianggap bergeming, sementara planet mengelilinya dengan kecepatan yang berbeda-beda. Kekuatan argumen sistem Aristarchus terletak pada penjelasan yang sederhana mengenai perubahan kecerahan planet.
Penjelasan Aristarchus ditolak sekurangnya karena tiga hal. Pertama dengan menggerakan Bumi, sistem itu di anggap menghina tempat suci itu. Kedua, tidak ada pegangan kuantitatif. Ketiga, seandaiya Bumi mengelilingi Matahari seyogyanya kita dapat melihat gerakan itu berdasar posisi bintang.
Selama 13 abad kemudian, sistem Ptolomeus tidak banyak diubah cendekiawan. Selama itu manusia semakin banyak melihat ketidakcocokan dengan prediksi sistemnya.
Nicolaus Copernicus sekitar abad 16, yang menganut heliosentrisme berdasarkan korespondensi yang ditinggalkannya De Revolutionibus Orbium Caelestium. Tapi ia tidak menggemborkannya karena menyadari orang awam, terutama gereja akan menentang sistem tersebut. Sistem Copernicus tidak begitu jauh menyimpang dari sistem Yunani kuno. Posisi bumi ia ganti menjadi Matahari –gagasan (yang menurut pengakuannya ) ia pinjam dari Aristarchus. Copernicus memakai data yang dikumpukan cendekiawan Yunani 13 abad sebelumnya. Setelah sekian kali disalin oleh penyalin yang tidak paham isinya. Berdasar sistem Copernicus, para astronom dapat menyusun tabel-tabel baru yang menolong pekerjaan mereka lantaran lebih akurat dari tabel Ptolemeus. Proses ini menjadikan dunia ilmiah lambat laun menerima sistem baru ini. Dan keberatan yang mereka ajukan pun memudar. Ada 2 keberatan utama saat itu pada Copernicus;pertama, dalam hal dinamika. Seandainya bumi bergerak semestinya efeknya kelihatan. Copernicus memang hanya mengurus kinematika semata tanpa mempedulikan penyebabnya. Kedua, kebertan dari luar astronomi, yaitu filsafat agama. Bukuya susah dipahami orang awam.
Pertengahan abad munculah astronom paling menonjol Tycho Brahe yang menentang sistem Copernicus seumur hidupnya. Ia mengusulkan sebentuk sistem lain yang terdiri dari ke-5 planet yang mengedari Matahari. Perbedaannya, bulan dan matahari ujung-ujungnya mengitari Bumi, Bumi tetap bergeming. Catatan pengamatannya akurat melampaui teorinya. Berkat data inilah, salah seorang asistennya Johanes Kepler menemukan bentuk orbit planet lonjong.
Bertolak belakang denga gurunya, Johanes Kepler (1571-1630) percaya pada Copernicus. Ia setia pada fakta empiris dan percaya bahwa dalam Matahari kita dapat menemukan prinsip hidup alam-semesta , sehingga layak diletakan di pusat. Dalam bukunya yang pertama Mysterium Cosmographicum ia menegur Copernicus karena menganggap Bumi sebagai planet istimewa sebagai pusat, sementara Kepler tegas mnyamakan Bumi dengan planet lain. Kepler menyederhanakan sistem Copernicus: eksentrik yang dipertahankan Copernicus tidak diperlukan lagi sehingga memudahkan Kepler mencari penyebab gerak melingkar planet-planet yang menurutnya akibat tarikan gravitasi di pusat Matahari.
Galileo Galilei (1564-1642) sekalipun mengikuti gagasan Copernicus tapi ia sendiri tidak menyadari pertentangan antara Kepler dan Copernicus. Pada 1690 Galileo merakit teropong dengan mengembangkan teknlogi rancangan Hans Lippershey setahun sebelumnya. Ia menemukan beberapa fakta seperti;
Pertama, permukaan bulan ternyata tidak mulus dan bulat sempurna.
Kedua, ada 4 planet kecil (bulan), mengitari Jupiter. Bukti telak bahwa tidak semua benda langit mengitari Bumi.
Ketiga, fasa-fasa Venus sama seperti fasa Bulan. Hal ini bisa terjadi hanya pada sistem helosentris.
Keempat, bintang yang diamati, ternyata bintang itu tidak lebih besar melainkan berupa titik kecil yang menunjukan bintang berjarak jauh sekali dari bumi. Hasil pengamatan ini cendrung menyingkirkan manusia dari pusat alam-semesta.

PARADIGMA CAHAYA SEBAGAI PARTIKEL ATAU GELOMBANG?
Huygens dalam bukunya Traite de la Lumiere (Telaah Cahaya) pada tahun 1690 membayangkan cahaya seperti gelombang. Ini pernyataan tentang cahaya yang pertama. Hipotesa gelombang ini bertujuan mencari penjelasan geometris tabi’at cahaya (misal memantul dan membias), bukannya menjelsakan hakikat. Gelombang yang dibayangkan Huygens adalah gelombang longitudinal, bukan transversal. Tidak periodik. Huygens sengaja membuatnya demikian untuk menghindari gangguan di antara sinar yang menyilang. Gagasannya disusun tanpa data hasil eksperimen samasekali dan janggal bagi pembaca.
Pada abad ke-17 gejala interferensi dan difraksi ditemukan Grimaldi (1660) dan Hooke (1672). Tapi dua orang itu tidak menjelaskannya.
Cahaya pertamakali dibahas secara rinci oleh Newton. Pada buku Opticks edisi pertama (1704) Newton mengajukan beberapa spekulasi tentang sifat cahaya yang diawali dengan pemaparan hasil percobaan ihwal pemecahan cahaya putih, pembiasan rangkap, lingkaran cahaya. spekulasinya ia tuangkan dalam pertannyaan, satu diantaranya mengungkapkan keyakinan bahwa cahaya bersifat seperti partikel.(pertannyaan n0 29):
“Bukankah cahaya merupakan butiran teramat kecil yang dipancarkan oleh benda yang mengkilap? Butiran seperti ituakan melewati medium yang seragam mengikuti garis lurus, tanpa dibelokan dan masuk kedalam bayangan-dan demikianlah juga sifat cahaya.”
Newton bersikukuh menolak ide Huygens bahwa cahaya bersifat gelombang. Menurutnya gelombang akan melebar dan mengisi seluruh ruang seperti gelombang air mengisi ceruk kolam, paahal dalam praktik cahaya mengikuti garis lurus dan tidak mengisi ruang bayangan.
Augustin Jean Fresnel (1788-1827) insinyur inggris ini menolak teori eluru cahaya. Fresnel pertamakalinya mengangkat kembali prinsip Huygens dan berhasil merumuskan intensitas cahaya di sembarang titik. Fresnel juga menyatakan bahwa gejala bias rangkap pada kristal kalsit adalah gejala polarisasi. Karena polarisasi hanya mungkin terjadi pada gelombang transversal maka pendapat ini langsung melawan para penganut teori eter yang masih menganggap cahaya gelombang longitudinal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar